SEJARAH KEMBALINYA IRIAN BARAT (saat ini Papua dan Papua Barat) DALAM BINGKAI NKRI
Pelaksanaan Pepera-1969 |
Irian Barat, merupakan wilayah integral NKRI yang tidak dapat terpisahkan. Sejak Oktober tahun 1962 bendera PBB sudah berkibar berdampingan dengan sang “Merah Putih” di Irian Barat, namun pada tanggal 1 Mei 1963 bendera PBB diturunkan dan bendera Merah Putih tetap jaya berkibar hingga saat ini. Perbedaan pendapat dari sekelompok masyarakat Papua yang tergabung dalam suatu organisasi maupun perseorangan menginginkan perpisahan dari NKRI juga masih terus berlangsung pada saat ini. “Separatis”, kata yang cocok didefinisikan terhadap mereka yang ingin memisahkan diri. Gerakan separatisme di Papua sendiri tergolong menjadi 2 front, yaitu separatis front politik dan separatis front bersenjata. Salah satu hal yang selalu diangkat oleh mereka adalah pelurusan sejarah PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) karena dianggap merupakan proses dekolonisasi Irian Barat ke NKRI dan tidak sah. Oleh karenanya, perlu diulas kembali tentang sejarah tersebut sebagai pengingat dan mengenang perjuangan para Pahlawan yang gugur demi kembalinya Irian Barat.
Pada saat bala tentara Jepang mulai berhasil dipukul mundur oleh tentara Amerika pada tahun 1944, maka Jendral Douglas Mac Arthur lalu mendirikan markas besarnya di Sentani (Kabupaten wilayah Prov. Papua saat ini). Pada tanggal 13 Agustus 1945, selanjutnya tentara Jepang dilucuti oleh tentara sekutu dan NICA (Netherland Indische Company Administration). Akan tetapi ketika Belanda ingin menjajah lagi, Indonesia kemudian menyatakan diri telah “Merdeka” dan menjadi negara berdaulat. Melalui perjuangan politik dan bersenjata akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang meliputi bekas jajahan Hindia-Belanda (kecuali Papua Barat/sebelum berubah nama menjadi Irian Barat), dengan catatan bahwa dalam setahun sejak penyerahan kedaulatan akan dibicarakan tentang penyerahan Papua Barat antar RI dan Belanda.
Selama hampir setahun lebih Belanda tidak pernah memperlihatkan niat baiknya untuk mengembalikan Papua sesuai dengan yang dijanjikannya dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, maka Presiden Soekarno mulai melakukan lobi internasional.
KMB di Den Haag Belanda 23 Agustus 1969 |
Sehingga pada tahun 1957, Presiden Soekarno mulai mendesak PBB agar menekan Belanda untuk mengembalikan Nieuw Guinea/Papua Barat kepada Indonesia karena bangsa Papua juga merupakan masyarakat Indonesia seperti saudaranya di Maluku Utara. Sejak tahun 1954 – 1957 Pemerintah Indonesia memasukkan masalah Papua Barat ke sidang umum PBB, namun tidak ada tindakan konkrit yang diambil PBB. Bahkan Belanda malah memasukkan Papua Barat menjadi salah satu Provinsinya dengan sebutan Nederlans Nieuw Guinea, sehingga PM Ali Sastro membentuk pemerintahan kontra yang bernama Irian Barat Soa Siu yang meliputi Tidore sampai Irian Barat. Seakan tidak mau kalah dengan Republik Indonesia, maka Belanda kemudian menyiapkan cadangan strategis angkatan lautnya termasuk diantaranya adalah mengerahkan kapal induk HR. MS Karel Doorman dan sejumlah kapal jenis destroyer di Papua Barat.
Pada tahun 1960, Pemerintah Belanda dibawah Perdana Menterinya Joseph Luns menyadari bahwa mereka semakin terdesak oleh tekanan dari Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno agar segera mengembalikan Papua Barat. Selanjutnya, Belanda membuat negara boneka yang diberi nama “West Papua” dengan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang negara “Burung Mambruk” serta nama bangsa adalah Papua. Pada tanggal 1 Desember 1961, bendera Bintang Kejora lalu dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda. Bersamaan dengan itu, Belanda juga membentuk Batalyon Sukarela Papua yang berkedudukan di Arfai Manokwari dengan kantor Mayon menggunakan Barak Marinir Belanda (Batalyon ini menjadi cikal bakal dari munculnya TPN-OPM/Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka).
Menjawab semua langkah politik Belanda tersebut, Presiden Soekarno lalu menjawab dengan mencetuskan TRIKORA (Tri Komando Rakyat) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta yang isinya :
• Gagalkan pembentukan negara Papua buatan Belanda Kolonial.
• Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
• Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Untuk menekan Belanda agar mau melakukan perundingan maka Presiden Soekarno membetuk operasi Mandala dengan mengangkat Mayjen Soeharto sebagai Panglimanya, Kolonel Laut Sudomo sebagai Wapang, Kolonel Udara Watimena sebagai Wapang dan Kolonel Ahmad Tahir sebagai Kasgab. Mayjen Soeharto selanjutnya menginfiltrasikan pasukan gerilya RPKAD, ALRI dan Polri menyusup ke wilayah Irian Barat. Puncak konfrontasi antar kekuatan militer Belanda dan Indonesia adalah peristiwa pertempuran Laut Arafuru, dimana MBT (Motor Boat Tjepat) yang akan melakukan infiltrasi disergap oleh sebuah kapal destroyer Belanda dan Komodor Yos Sudarso gugur sebagai Pahlawan bersama tenggelamnya KRI Macan Tutul.
Pada tanggal 15 Agustus 1962 dilakukan penandatangan perjanjian PBB yang dikenal dengan “New York Agreement” terkait Irian Barat. Penyerahan Nieuw Guinea kepada Indonesia dilakukan melalui penyerahan tanggung jawab administrasi Pemerintahan wilayah kepada UNTEA (tanggal 1 Mei 1962). UNTEA hanya 8 bulan berada di Nieuw Guinea dan pada tanggal 1 Mei 1963, Pemerintah Indonesia mengambil alih Nieuw Guinea dan mengganti nama menjadi “Irian Jaya”. Menurut pasal XVIII perjanjian New York, mengenai pelaksanaan hal penentuan nasib sendiri (act of free choice) yang diatur untuk dibuat oleh Indonesia dengan nasehat, bantua dan partisipasi PBB yang meliputi 4 butir, antara lain :
• Konsultasi atau musyawarah dengan 9 Dewan Perwakilan mengenai prosedur dan cara untuk mengetahui kebebasan pernyataan kehendak rakyat.
• Dalam jangka waktu ditetapkan oleh persetujuan tersebut, ditentukanlah tanggal yang pasti untuk pelaksanaan act of free choice.
• Suatu formulasi yang jelas sehingga penduduk menentukan apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia atau memutuskan hubungan dengan mereka.
• Suatu jaminan bagi semua penduduk pribumi untuk ikut memilih dalam rangka penentuan nasib sendiri yang akan dilaksanakan sesuai dengan praktek internasional.
Dikarenakan letak pemukiman masyarakat Papua yang pada saat itu masih banyak berada di daerah terisolasi ditambah SDM (Sumber Daya Manusia) yang belum banyak mengenal kemampuan membaca dan menulis, sehingga pelaksanaan PEPERA (act of free choice) di beberapa daerah dilakukan dengan cara melakukan pemungutan suara yang diwakili oleh beberapa orang Kepala Suku. Pelaksanaan PEPERA di Irian Jaya berlangsung dari tanggal 14 Juli – 2 Agustus 1969, sebagai berikut :
• Tanggal 14 Juli 1969 Kab. Merauke, jumlah penduduk 144.171 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 175 orang.
• Tanggal 16 Juli 1969 Kab. Jayawijaya, jumlah penduduk 165.000 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 175 orang.
• Tanggal 19 Juli 1969 Kab. Paniai, jumlah penduduk 156.000 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 175 orang.
• Tanggal 23 Juli 1969 Kab. Fak-fak, jumlah penduduk 43.187 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 75 orang.
• Tanggal 26 Juli 1969 Kab. Sorong, jumlah penduduk 75.474 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 110 orang.
• Tanggal 29 Juli 1969 Kab. Manokwari, jumlah penduduk 49.875 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 75 orang.
• Tanggal 31 Juli 1969 Teluk Cenderawasih, jumlah penduduk 83.760 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 110 orang.
• Tanggal 2 Agustus 1969 Kab. Jayapura, jumlah penduduk 809.337 diikuti anggota Dewan Musyawarah sebanyak 1.025 orang.
Terkait dengan uraian tentang sejarah kembalinya Irian Barat ke NKRI dan adanya gerakan separatisme dapat ditarik kesimpulan :
• Negara boneka Nieuw Guinea atau Papua Barat adalah negara bentukan Belanda yang dijadikan “bom waktu” untuk tetap menjadikan konflik berkepanjangan ketika Papua Barat sudah bergabung dengan NKRI.
• Bendera Bintang Kejora, lambang burung Mambruk dan lagu Hai Tanahku Papua bukanlah simbol daerah atau adat kebanggaan masyarakat Papua seperti yang pernah dikatakan oleh Theys Hiyo Eluay, tetapi semua itu hanyalah simbol ciptaan Belanda yang diresmikan oleh Gubernur Nieuw Guinea Belanda pada tanggal 20 November 1961 untuk memprovokasi masyarakat Papua agar menolak bergabung dengan NKRI.
• Integrasi Niuew Guinea/Papua Barat (saat ini Prov. Papua dan Papua Barat) telah final dengan adanya resolusi PBB 2504 yang dicetuskan dalam New York Agreement.
• Pelaksanaan act of free choice (PEPERA) tidak dapat dilaksanakan “One Man One Vote” dikarenakan kondisi geografis yang terisolasi dan SDM masyarakat pada saat itu. Jelas bahwa New York Agreement sebagai dasar hukum Internasional pelaksanaan penentuan nasib sendiri, tidak menyebutkan diberlakukannya prinsip satu orang satu suara dalam PEPERA.
Comments
Post a Comment